Rss Feed
  1. Cinta Dua Puluh Tahun

    Tuesday 5 February 2013

    Sinar matanya begitu ceria,  tak sanggup  melukiskan dalam bentangan kertas ini. Senyum  tajam, manja tak lekas membuatku lari dalam pelukkannya.
    “Sudilah kiranya menyambangi hati yang merindu ini?”
    “Baiklah, saya akan datang” jawabku


    Seketika jantungku berdebar mendengar jawabanku sendiri, dia mengundangku malam nanti disebuah makan malam romantis. Aku gemetar dibawah naungan lampu redup ini.
    ***
    Kupatutkan diri didepan cermin, kuperhatikan setiap sudut senyumku
    “masih  seperti beberapa tahun yang lalu”
    Entah, ini kencan keberapa kali setelah seseorang yang berada dalam lubuk hatiku hanya menyampaikan sebuah kalimat pendek disore hari , dua puluh  tahun yang lalu.
    “Aku tahu, pasti kamu mampu menerima keadaan ini, aku tahu hatimu sangat mulia membaca keadaan ini”
    Aku melepaskan orang yang kukasihi tepat seminggu sebelum pernikahanku, tepat saat malaikat penjaga cintaku menaburkan harumnya bunga dan menyemaikan asa selangit yang kulambungkan bersama angin cintaku.
    “Maafkan saya rin, dia memilihku dan meninggalkan kamu. Semua yang terjadi bukan aku yang memulai, tapi waktu yang memutarnya. Tolong jangan doakan kami macam-macam ya”
    Kalimat perempuan itu sungguh membuatku muak, bukan hanya kepada lelaki yang menjatuhkan aku dalam gelombang keteduhan sakit, terluka terlempar dari jarak langit ketujuh. Namun perempuan yang sama sekali saya tidak mengenal  asalnya itu sungguh menyesakkan dadaaku.
    ***
    “Selamat datang, malam ini kamu sangat cantik rin”
    Aku hanya mampu tersenyum dan kutundukan pandanganku, mengangkat lagi dan menangis sejadi-jadinya. Aku tak mampu mengeluarkan semua yang ingin kukatakan.  Kau mendekapku dan berbisik
    Candle-Light-Dinner
    Here

    “Aku tak mampu melupakan betapa besar pengorbanan cintamu kepadaku, aku tak mampu menggantikan senyum itu dengan senyum dari wajah yang lain”
    “Aku menceraikan dia dua jam setelah pernikahan kami”
    “Ku cari kamu rin, betapa cepat kau meninggalkan negeri ini tanpa mengabari siapapun”
    Tak pandai aku berpuisi, tak pandai  menyimpulkan sebuah senyuman, saat bertemu kembali disebuah dermaga cinta yang menautkan hatiku, dan hatinya. Berpisah dua puluh tahun dan bertemu saat cinta tanpa ikatan diantara kami.

  2. 4 comments:

    1. wow, keren! ternyata mak Astin juga jago bikin fiksi... lanjutkan mak!

    2. Unknown said...

      hi mba Alaika, kebetulan kalau sedang moody beginilah tapi kalau gak ya mo nulis huruf saja gak bisa
      makasih ya mba

    3. Unknown said...
      This comment has been removed by the author.

    Post a Comment