Rss Feed
  1. Cinta Pertama

    Tuesday 12 March 2013

    Hari telah begitu senja, aku percepat langkah kakiku, begitu terburu berlomba dengan rindu yang teramat sangat, aku merasa tersanjung dia meluangkan waktunya untukku, wajahku memerah dan bibirku terhias senyum yang masih menarik diusiaku yang ke-35.

    "Selamat datang, sudah resenvasi?"
    "Saya...teman saya sudah menunggu"
    "Baiklah, selamat menikmati"

    Alunan suara Melly dan KD menambah romantisme makan malam para penikmat sajian restoran, jantungku berdegub kencang.


    Aku mencari sosok yang masih setia mengirimiku email setiap pagi, tepat, dia selalu suka ruang di sudut, dua kursi. Aku tak sabar memeluk tubuh yang hanya kudengar suaranya di telepon, menyemai rindu dalam desahan nafas sepanjang Indonesia-Italia selama lima belas tahun.

    Credit

    Dia melambai dan berdiri berjalan menarikku dalam tubuhnya, aku suka aroma dan warna yang tak pernah hilang.

    "Lebih cantik ketika bertemu kan? dress hijaumu aku suka"
    "Dan kaos merahmu, aku bisa hitung ada ribuan di lemarimu"

    Tak canggung, karena setiap hari aku bisa menatap wajahnya saat skype di kantorku dan taburan kata rindu, cinta mengharumi ruangan kerjaku semua dari lelaki ini. Aku sadar ketika genggaman tangannya menganggu sendokku yang terlepas dan ketika handphonemu berbunyi.

    "Sebentar, aku ke toilet" Katanya mengelus rambutku dengan setengah berlari menuju toilet. Tak ada yang berubah, seperti ketika aku melepasnya di Bandara Soeta. Aku merindukan saat-saat ini, hanya aku dan dia dalam semburan senja memberikan lukisan rindu dalam pertemuan yang melegakan getar cinta.

    Kulihat dari kejauhan dia kembali, mencium keningku, menatapku dan aku merasa dia sangat kecewa ada sebuah panggilan telepon yang tak diinginkannya, aku mengerti biarlah aku membutuhkan dirinya malam ini, aku rindu sekali bedekatan dengannya, mencium aroma bvlgari, menggenggam tangannya dan dia mendekapku lebih dekat menjadikan aku seorang gadis 19 tahunan yang baru mengenal cinta dan aku membiarkan gelora naiknya darah ke atas kepalaku.

    "Handphonemu bergetar, aku bisa merasakan itu ada di sakumu" kilauan sinar matanya menghukum diriku, aku pamit seperti ketika dia menerima telepon tadi.

    "Ma, masih di jalan? Papa membelikan kita sepatu yang sama, yang kecil buat aku  dan buat Mama yang besar, cepat pulang ya Ma!"

    ***

  2. 0 comments:

    Post a Comment